Wednesday, June 13, 2018

LAILATUL QODAR

Tamparan si penerima Lailatul Qodar (mung isoh patehah)

"Wah…pisange sae-sae(bagus-bagus), mbah." kataku sambil jongkok di depan simbah yang jual pisang.

"Lha monggo (silahkan) diborong, niki pisang panenan kula piyambak( ini pisang panen sendiri)." kata si mbah itu riang.

Sudah tua tetapi masih semangat berjualan.

"Niki pisang kepok kuning, enak dikolak. Sing niki kepok putih, yen digoreng legi(manis). Lha sing niku pisang pista, kulite tipis, wangi. Tapi ampun ditumbas mergo dereng mateng(jangan dibeli karena belum Mateng)." lanjut si mbah.

Aku hanya diam memperhatikan gerak tanganya yang cekatan, meskipun agak gemetar.

"Sadeane mpun dangu, mbah?" tanyaku.(jualan sudah lama Mbah?)

"Dereng. Niki nguber rejeki damel riyaden." Jawab simbah singkat.( Belum. Ini lagi nguber rezeki buat lebaran)

"Putrane pinten, mbah?" tanyaku.(putranya berapa Mbah)

"Kathah, glidik sedanten", jawab si mbah.(banyak, kerja semua)

"Kok mboten istirahat mawon, siyam-siyam kok sadean?" lanjutku menyelidik.(kok Ndak istirahat, puasa puasa kok jualan)

"Lha nggih mergi siyam niku, mboten angsal istirahat. Mumpung Gusti Allah paring ganjaran kathah", jawab si mbah ringan.( Lha karena puasa, nggak boleh istirahat. Mumpung Gusti Alloh ngasih banyak pahala)

Plak!!!

Mendengar jawaban seperti itu rasanya seperti ditampar. Sederhana namun sangat menohok. Kulirik simbah menyeka keringat yang mengalir di dahinya menggunakan ujung jilbabnya yang lusuh. Diantara para penjual dipinggir jalan depan pasar, simbah ini menggelar daganganya tanpa peneduh sedikitpun.. Padahal panasnya luar biasa.

"Jenengan wangsul jam pinten, mbah?" selidikku.( Pulang jam berapa Mbah?)

"Sakderenge ngashar kulo mpun wangsul. Kulo kedah ndamelaken wedang kangge lare-lare TPQ." Simbah menjelaskan padaku.( Sebelum asar sudah pulang. Harus buatkan minum buat anak TPA)

"Kok kedah nyiapaken? Ingkang ngudukaken sinten mbah?" tanyaku penasaran.( Kok nyiapin. Tugasnya siapa Mbah?)

"Njih kulo piyambak?" tandas si mbah.(ya saya sendiri)

"Ooo....ngaten. Nopo saben dinten mbah?", aku manggut-manggut. (Apa setiap hari Mbah?)

"Njih, wong cuma lare seket." lanjut si mbah.( Iya, cuma 50 anak)

"Wah....hebat mbah." pujiku sambil tersenyum.

"Halah cuma wedang kalih jajan alit-alit. Sing penting lare-lare niku rajin ngaji kulo mpun remen. Pokoke ojo niru mbahe niki mung iso patehah." jelas si mbah.( Halah, cuma air sama jajanan. Yang penting anak anak rajin ngaji saya sudah senang. Jangan sampai kaya saya yang cuma bisa Fatihah)

Plakkk!!!

Sekali lagi aku mendapat tamparan keras. Kali ini hatiku yang merasa sakit. Baru bisa baca Al Fatihah sudah sedemikian penghambaannya. Lha saya???

Tanpa ba bi bu, kumasukkan semua pisang yang ditawarkan ke dalam tas kresek.

"Kok kathah, bade damel nopo?" tanya si mbah heran.(kok banyak, mau buat apa?)

Sing mentah niki ampun lhe mas, dereng enak!" tambahnya.(yang mentah ini jangan lho, belum enak)

Aku pura-pura tak mendengar.

"Sedoyo pinten, mbah?"(berapa semua Mbah?)

Simbah menyebutkan nominal yang membuatku tercengang.

"Kok murah mbah?"

"Mboten mas, niku mpun pas. Kulo mboten kulakan, wong panen piyambak."(enggak, itu sudah pas. Pisang panen sendiri)

"Njih mbah maturnuwun." kataku sembari mengulurkan uang.

"Waduh…ngapunten, kulo mboten gadhah susuke. Dereng kepayon." berkata begitu sambil mengembalikan uangku.(maaf, nggak punya kembalian. Belum laku dari tadi)

"O nggih, kulo pados lintu riyen mbah."( Saya tukar dulu Mbah)

Aku sengaja meninggalkan simbah. Agak menjauh dari perempuan tua itu. Kumasukkan beberapa lembaran uang yang masih baru, ke dalam amplop.

"Niki mbah, sampun pas njih, pisange kulo tumbas."( Ini Mbah, sudah pas. Pisangnya saya beli)

Simbah menerima amplop sambil tangannya gemetaran..

Tanpa menunggu jawaban, aku buru-buru pergi.

Esoknya aku mampir lagi, tapi kosong. Berikutnya aku mampir lagi, kosong juga.

Penasaran kutanyakan pada pedagang sayur di sebelahnya.

"Mbahe kok mboten sadean, mbak?"( Simbahnya nggak jualan)

"Oh mboten, piyambake sadean namun nek panen mawon. Sampeyan to pak sing mborong gedhange wingi?"( Enggak. Jualan cuma pas panen saja. Mas yang borong pisang kemari?)

"Nggih mbak. Enten nopo?"( Iya mbak. Kenapa?)

"Oalah pakkkk... Paakkk, mbahe sampek nangis ngguguk. Jarene bejo banget entuk Qodaran."( Mbahnya nangis sesenggukan. Katanya beruntung dapat Qodaran)

Qodaran, barangkali maksudnya Lailatul Qodar. Malam yang lebih baik dari 1000 bulan.

Para malaikat turun dari langit.

Langit hati kita. Menyelesaikan segala urusan.

Allah melapangkan rejeki dan kemuliannya bagi yang dikehendaki. Pun mempersempit bagi yang dikehendaki pula.

Lantas siapakah yang mendapatkannya ?

Barangkali perempuan tua, penjual pisang itu. Bukan karena ia ahli ibadah. Bukan pula karena i’tikafnya yang kuat.

Tapi dialah pelaksana dari yang katanya "cuma iso patehah". Bertindak, berlaku, dan berpasrah dalam keriangan rasa.

Kecintaannya yang sederhana dengan penyiapan wedang dan jajanan bagi seketan bocah selama bulan puasa, agar anak-anak rajin mengaji.Tanpa berharap imbalan apapun. Sungguh bukan perkara mudah. Hanya cinta tuluslah yang bisa.

Maka, malam terbaik dari 1000 bulan bukanlah instan. Tak bisa dijujug dengan akhiran. Semua butuh proses, karena karunia terindah butuh wadah yang pantas.

Yang dibangun dengan menapis kebaikan sebelum, selama dan sesudah Ramadhan.

Itulah sesungguhnya QODARAN.

Bengi shalat tahajud, awan sregep makarya (bekerja)

Selamat berpuasa saudaraku muslim. Ditempa sebulan penuh, semoga kita menjadi hamba yang bertakwa. Hamba yang pantas mendapat Lailatul Qodar.

Aamiin

Terima kasih simbah, telah memberikan tamparan hikmah pada saya.

#Copas dari facebook seorang teman

No comments:

Post a Comment

ILMU CARI REJEKI

BEGINI CARA BISNIS KULINER BERTAHAN DI MASA RESESI!! Oktober ini berarti sudah 7 bulan pandemi mendera, entah sudah berapa kawan...